DPRD Jatim Dukung Perubahan Perda Nomor 3 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Bencana

SURABAYA, 16 OKTOBER 2025 – Seluruh fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur mendukung perubahan peraturan daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Bencana di Provinsi Jawa Timur.
Di mana usulan perubahan ini usai gubernur Jawa Timur menyampaikan nota penjelasan pada Paripurna 29 September beberapa waktu lalu.
Juru bicara FPKS Jatim, Dr. Puguh Wiji Pamungkas menegaskan FPKS mendukung perubahan perda tersebut, namun ada catatan penting yang perlu diperhatikan, yaitu pembaruan regulasi penanggulangan bencana yang lebih presisi, partisipatif, dan berpijak pada nilai-nilai gotong royong masyarakat Jawa Timur.
Puguh menilai, perubahan regulasi ini bukan hanya mandat yuridis, tetapi juga kebutuhan strategis untuk memperkuat ketahanan daerah terhadap berbagai ancaman bencana.
“Raperda ini sangat penting untuk memperkuat sistem mitigasi bencana di Jawa Timur agar lebih presisi, optimal, dan integral,” ujar Puguh di paripurna DPRD Jatim, Senin (13/10/2025).
Dalam pandangan umumnya, menyatakan sepakat terhadap penguatan kolaborasi lintas sektor atau pentahelix dalam penanggulangan bencana. Namun, pihaknya menekankan perlunya mekanisme tata kelola kolaborasi (collaborative governance) yang jelas agar tidak terjadi tumpang tindih peran antar-stakeholder.
“Kami mendorong agar kolaborasi ini diatur lebih rinci melalui Peraturan Gubernur, sehingga setiap lembaga, organisasi, dan instansi yang terlibat memiliki peran dan standar yang jelas,” tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya integrasi dokumen perencanaan bencana, mulai dari Rencana Penanggulangan Bencana Daerah (RPBD) hingga Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana, dalam satu sistem informasi terpadu. Langkah ini diharapkan mampu meningkatkan transparansi, akuntabilitas, serta mempermudah pengawasan oleh DPRD dan publik.
Pihaknya juga, menekankan pentingnya pemberdayaan masyarakat melalui pembentukan Desa Tangguh Bencana (Destana), Pesantren Tangguh Bencana (Pestana), dan Keluarga Tangguh Bencana (Katana) secara partisipatif.
Ia menambahkan, nilai gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa Timur harus menjadi kekuatan sosial utama dalam mitigasi dan penanggulangan bencana.
Fraksi Partai Gerindra melalui juru bicara Cahyo Harjo Prakoso, mengapresiasi inisiatif Pemprov atas inisiatif dalam mengajukan Raperda Perubahan tersebut sekaligus menyampaikan sejumlah catatan penguatan regulasi dan tata kelola.
Pihaknya menilai, pembaruan aturan ini tepat karena berangkat dari mandat konstitusi untuk melindungi keselamatan warga dan menyesuaikan dengan payung hukum nasional (UU 24/2007, UU 23/2014, PP 21/2008, Permendagri 77/2020).
“Namun demikian, Fraksi Partai Gerindra menilai bahwa sinkronisasi vertikal dan horizontal antar peraturan perlu diwaspadai agar tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan duplikasi norma, terutama pada tataran teknis pelaksanaan di tingkat kabupaten/kota dan desa,” ujar Cahyo.
Secara sosiologis, perubahan ini relevan dengan tingkat kerentanan bencana di Jatim—mulai dari gunung api aktif, ancaman tsunami pesisir selatan, banjir, kebakaran hutan/lahan, kekeringan/cuaca ekstrem, hingga gempa dan longsor.
Namun menurutnya, di balik risiko tersebut, terdapat kekuatan sosial dan kearifan lokal masyarakat yang selama ini menjadi aktor kunci dalam mitigasi dan tanggap darurat.
“Karena itu, kebijakan baru harus memastikan partisipasi aktif masyarakat dan kolaborasi pentahelix (pemerintah, akademisi, dunia usaha, masyarakat, dan media) bukan sekadar jargon, tetapi menjadi sistem yang hidup di lapangan,” lanjutnya.
Pihaknya, juga mencatat beberapa penguatan positif dalam draf: penetapan kawasan rawan bencana sebagai dasar KLHS/RTRW; integrasi pendidikan dan pelatihan kebencanaan; perlindungan kelompok rentan dan disabilitas; pembentukan relawan dan forum PRB; penguatan tugas-fungsi BPBD; serta skema pentahelix.
Dalam catatannya, pihaknya menanyakan apakah seluruh norma baru telah sepenuhnya disinkronkan dengan UU Nomor 23 Tahun 2014, khususnya terkait pembagian urusan pemerintahan antara provinsi dan kabupaten/kota. “Jika belum, bukankah hal ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih pelaksanaan dan memperlemah koordinasi BPBD lintas daerah?,” tanya Cahyo.
Terkait kapasitas dan anggaran, ia menilai keberhasilan kebijakan penanggulangan bencana bergantung pada ketersediaan sumber daya dan dana siap pakai.
Selain itu, ia menilai kebijakan perlindungan terhadap penyandang disabilitas dan kelompok rentan sangat penting.
Terkait pengawasan dan akuntabilitas, ia menegaskan pentingnya fungsi kontrol dalam pelaksanaan Raperda ini. “Apakah telah dirancang mekanisme evaluasi kinerja BPBD dan forum-forum relawan secara periodik agar kebijakan tidak hanya berhenti di atas kertas?” pungkasnya.